Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Jika masa semakin dekat, mimpi seorang muslim nyaris tidak pernah dusta. Muslim yang paling benar mimpinya adalah yang paling jujur perkataannya. Mimpi seorang mukmin merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian. Mimpi ada tiga macam: mimpi yang baik sebagai berita gembira dari Allah ‘azza wa jalla, mimpi seorang muslim yang dialami oleh dirinya sendiri, dan mimpi sedih yang berasal dari setan. Jika salah seorang di antara kamu mengalami mimpi yang tidak disukai, janganlah menceritakannya kepada orang lain, bangunlah, kemudian shalatlah.”
(Muttafaq ‘alaih)
Tidak semua mimpi dapat ditafsirkan makna yang terkandung didalamnya. Ada kalanya mimpi
bagaikan angin lalu namun ada yang benar-benar menjadi kenyataan. Mimpi insan yang bertakwa merupakan perkhabaran yang akan berlaku, kerana Rasulullah tidak bermimpi melainkan mimpi baginda menjadi kenyataan. Sedangkan mimpi insan yang tidak beriman merupakan berita yang disebarkan oleh syaitan.
Dalam suatu riwayat dikisahkan, seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya bermimpi melihat sebahagian tubuh baginda berada di rumahku." Baginda menjawab,
"Sesungguhnya Fatimah akan melahirkan seorang anak lelaki, kemudian engkau yang akan
menyusukannya." Tidak lama kemudian Fatimah melahirkan Hussein dan disusukan oleh wanita tersebut.
Tambahan pula, mimpi diakui adanya dalam syariat Islam. Sedangkan ilmu untuk mentakwilkan, mentakbirkan atau mentafsirkannya diiktiraf oleh ramai ulama.
Menurut ahli-ahli ta'bir, mimpi ada tiga macam:
1. Peristiwa yang menggembirakan yang benar yang terjadi setelah bermimpi, dan ini tidak memerlukan penafsiran.
2. Mimpi yang batil atau permainan syaitan, iaitu mimpi yang tidak dapat diperincikan oleh orang yang bermimpi. Ertinya orang yang bermimpi itu tidak sanggup mengingat tertib atau jalan cerita mimpi itu. Mimpi seperti ini dianggap batil dan tidak mempunyai sebarang makna atau takwil.
3. Keinginan nafsu. Seperti kita ketahui nafsu ada tiga, iaitu nafsu mutmainnah, nafsu lawwamah dan nafsu ammarah. Mimpi seperti ini terjadi kerana pengaruh fikiran seseorang. Sesuatu yang dia lakukan atau dia khayalkan siang hari atau menjelang tidurnya selalu menjelma ketika tidurnya.
Jika seseorang mengalami mimpi yang tidak disukai, disunnahkan melakukan lima perbuatan. Yaitu, mengubah posisi tidur, meludah ke kiri sebanyak tiga kali, memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, bangun dan shalat, dan tidak menceritakan mimpinya
kepada siapa pun.
Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Pelaku mimpi hendaknya memelihara etika yang perlu dipegang teguh dan memiliki batasan-batasan yang selayaknya tidak dilampaui. Demikian pula halnya dengan pentakwil.”
Etika pelaku mimpi ialah:
Pertama, dia tidak menceritakan mimpinya kepada orang yang hasad sebagaimana dikatakan Nabi Ya’kub as kepada Nabi Yusuf as,
“Ayahnya berkata, ‘Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudarasaudaramu, maka mereka akan membuat makar untuk membinasakanmu.’” (Yusuf: 5)
Kedua, jangan menceritakan mimpinya kepada orang yang bodoh. Nabi saw. bersabda, “Janganlah kamu menceritakan mimpimu kecuali kepada orang yang dicintai atau kepada orang
yang pandai.”
Ketiga, janganlah menceritakan mimpi kecuali secara rahasia karena dia pun melihatnya
secara rahasia pula. Jangan menceritakannya kepada anak-anak dan wanita. Sebaiknya mimpi itu diceritakan menjelang awal tahun dan pada pagi hari, bukan sesudah keduanya lewat.
Etika pentakwil ialah sebagai berikut.
Pertama, jika saudaranya menceritakan mimpi kepadanya, maka katakanlah, “Aku kira mimpi itu baik.”
Kedua, hendaknya menakwilkan mimpi dengan cara yang paling baik. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Mimpi akan terjadi sebagaimana ia ditakwilkan.” Juga diriwayatkan bahwa beliau bersabda, “Mimpi itu bagaikan kaki yang menggantung selama belum diungkapkan. Jika telah diungkapkan, maka terjadilah.” Demikian yang disebut dalam as-Silsilah ash-Shahihah.
Ketiga, menyimak mimpi dengan baik, kemudian menjawab si penanya dengan jawapan yang mudah dipahami.
Keempat, jangan tergesa-gesa menakwilkan mimpi. Lakukanlah dengan hati-hati.
Kelima, menyembunyikan mimpi dan tidak menyebarkannya sebab ia merupakan amanat. Jangan menakwilkan mimpi ketika matahari terbit, ketika tergelincir, dan ketika terbenam.
Keenam, memperlakukan pelaku mimpi secara berbeda. Janganlah menakwilkan mimpi raja seperti menakwilkan mimpi rakyat, sebab mimpi itu berbeza karena perbezaan kedudukan pelakunya.
Ketujuh, merenungkan mimpi yang dikemukakan kepadanya. Jika mimpi itu baik, maka takwilkanlah dan sampaikanlah kabar gembira kepada pelakunya sebelum mimpi itu ditakwilkan.
Jika mimpi itu buruk, maka janganlah menakwillkannya atau takwilkanlah bagian mimpi yang
takwilnya paling baik. Jika sebagian mimpi itu merupakan kebaikan dan sebagian lagi keburukan, maka bandingkanlah keduanya, lalu ambillah mimpi yang paling tepat dan paling kuat pokoknya. Jika pentakwil mengalami kesulitan, bertanyalah kepada pelaku mimpi ihwal namanya, lalu takwilkannya berdasarkan namanya itu.
Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim meriwayatkan kepada kami dari Ali bin Muhammad al-Waraq, dari Ahmad bin Muhammad bin Nashr, dari Yusuf bin Bilal, dari Muhammad bin Marwan al-Kalbi, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas bahwa Aisyah berkata, “Rasulullah terkena sihir. Maka, beliau jatuh sakit, sehingga kami mengkhawatirkannya. Ketika beliau berada antara tidur dan terjaga, tiba-tiba turun dua malaikat: yang satu berada di dekat kepala Rasulullah dan yang lain berada di dekat kaki beliau. Malaikat yang berada dekat kepala berkata kepada malaikat yang berada dekat kaki, ‘Mengapa dia sakit?’ Malaikat bertanya demikian supaya Nabi saw. memahami persoalannya.
Temannya menjawab, ‘Terkena sihir.’
‘Siapa yang melakukannya?’
‘Lubaid bin A’sham, orang Yahudi.’
‘Di mana dia melakukannya?’
‘Di sumur Dzarwan.’
‘Bagaimana mengobatinya?’
‘Kirimlah orang ke perigi itu dan keringkan airnya. Jika tampak sebuah batu besar, singkirkanlah karena di bawahnya terdapat tali busur yang berpintal sebelas dan diletakkan di dalam uncang. Setelah itu bakarlah ia. Insya Allah dia sembuh. Jika dia menyuruh orang, hendaknya dia mengeluarkan uncang itu.’”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Nabi pun bangun dan beliau telah memahami apa yang dikatakan
kepadanya oleh malaikat. Beliau menyuruh ‘Ammar bin Yasir dan sekelompok sahabatnya ke perigi tersebut yang airnya telah berubah seperti inai. Kemudian perigi itu dikeringkan. Setelah tampak batu besar, ia pun digulingkan, dan tampaklah di bawahnya uncang yang berisikan tali busur bersimpul sebelas.
Kemudian mereka membawanya kepada Rasulullah. Maka, turunlah surah al-Falaq dan surah
an-Naas. Kedua surah ini berjumlah 11 ayat dan sama dengan banyaknya buhul yang berjumlah 11 pula. Setiap kali beliau membaca satu ayat, lepaslah satu buhul. Setelah seluruh buhulnya terbuka, Rasulullah dapat bangkit dan seolah-olah terlepas dari ikatan. Buhul itu pun dibakar.
Nabi menyuruh kita berlindung kepada Allah melalui kedua surah tersebut. Lubaid mengunjungi Rasulullah. Meskipun beliau menceritakan kejadian di atas, pada wajah Lubaid tidak tampak perubahan apa pun.”
Hadits di atas menunjukkan kebenaran masalah mimpi dan keberadaannya di dalam banyak
hadits, sehingga terlampau panjang untuk menceritakannya.
Untuk Download Buku Tafsir Mimpi Menurut AlQuran & Sunnah Tekan Sini
(Muttafaq ‘alaih)
Tidak semua mimpi dapat ditafsirkan makna yang terkandung didalamnya. Ada kalanya mimpi
bagaikan angin lalu namun ada yang benar-benar menjadi kenyataan. Mimpi insan yang bertakwa merupakan perkhabaran yang akan berlaku, kerana Rasulullah tidak bermimpi melainkan mimpi baginda menjadi kenyataan. Sedangkan mimpi insan yang tidak beriman merupakan berita yang disebarkan oleh syaitan.
Dalam suatu riwayat dikisahkan, seorang wanita bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya bermimpi melihat sebahagian tubuh baginda berada di rumahku." Baginda menjawab,
"Sesungguhnya Fatimah akan melahirkan seorang anak lelaki, kemudian engkau yang akan
menyusukannya." Tidak lama kemudian Fatimah melahirkan Hussein dan disusukan oleh wanita tersebut.
Tambahan pula, mimpi diakui adanya dalam syariat Islam. Sedangkan ilmu untuk mentakwilkan, mentakbirkan atau mentafsirkannya diiktiraf oleh ramai ulama.
Menurut ahli-ahli ta'bir, mimpi ada tiga macam:
1. Peristiwa yang menggembirakan yang benar yang terjadi setelah bermimpi, dan ini tidak memerlukan penafsiran.
2. Mimpi yang batil atau permainan syaitan, iaitu mimpi yang tidak dapat diperincikan oleh orang yang bermimpi. Ertinya orang yang bermimpi itu tidak sanggup mengingat tertib atau jalan cerita mimpi itu. Mimpi seperti ini dianggap batil dan tidak mempunyai sebarang makna atau takwil.
3. Keinginan nafsu. Seperti kita ketahui nafsu ada tiga, iaitu nafsu mutmainnah, nafsu lawwamah dan nafsu ammarah. Mimpi seperti ini terjadi kerana pengaruh fikiran seseorang. Sesuatu yang dia lakukan atau dia khayalkan siang hari atau menjelang tidurnya selalu menjelma ketika tidurnya.
Jika seseorang mengalami mimpi yang tidak disukai, disunnahkan melakukan lima perbuatan. Yaitu, mengubah posisi tidur, meludah ke kiri sebanyak tiga kali, memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, bangun dan shalat, dan tidak menceritakan mimpinya
kepada siapa pun.
Ustadz Abu Sa’ad berkata, “Pelaku mimpi hendaknya memelihara etika yang perlu dipegang teguh dan memiliki batasan-batasan yang selayaknya tidak dilampaui. Demikian pula halnya dengan pentakwil.”
Etika pelaku mimpi ialah:
Pertama, dia tidak menceritakan mimpinya kepada orang yang hasad sebagaimana dikatakan Nabi Ya’kub as kepada Nabi Yusuf as,
“Ayahnya berkata, ‘Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudarasaudaramu, maka mereka akan membuat makar untuk membinasakanmu.’” (Yusuf: 5)
Kedua, jangan menceritakan mimpinya kepada orang yang bodoh. Nabi saw. bersabda, “Janganlah kamu menceritakan mimpimu kecuali kepada orang yang dicintai atau kepada orang
yang pandai.”
Ketiga, janganlah menceritakan mimpi kecuali secara rahasia karena dia pun melihatnya
secara rahasia pula. Jangan menceritakannya kepada anak-anak dan wanita. Sebaiknya mimpi itu diceritakan menjelang awal tahun dan pada pagi hari, bukan sesudah keduanya lewat.
Etika pentakwil ialah sebagai berikut.
Pertama, jika saudaranya menceritakan mimpi kepadanya, maka katakanlah, “Aku kira mimpi itu baik.”
Kedua, hendaknya menakwilkan mimpi dengan cara yang paling baik. Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Mimpi akan terjadi sebagaimana ia ditakwilkan.” Juga diriwayatkan bahwa beliau bersabda, “Mimpi itu bagaikan kaki yang menggantung selama belum diungkapkan. Jika telah diungkapkan, maka terjadilah.” Demikian yang disebut dalam as-Silsilah ash-Shahihah.
Ketiga, menyimak mimpi dengan baik, kemudian menjawab si penanya dengan jawapan yang mudah dipahami.
Keempat, jangan tergesa-gesa menakwilkan mimpi. Lakukanlah dengan hati-hati.
Kelima, menyembunyikan mimpi dan tidak menyebarkannya sebab ia merupakan amanat. Jangan menakwilkan mimpi ketika matahari terbit, ketika tergelincir, dan ketika terbenam.
Keenam, memperlakukan pelaku mimpi secara berbeda. Janganlah menakwilkan mimpi raja seperti menakwilkan mimpi rakyat, sebab mimpi itu berbeza karena perbezaan kedudukan pelakunya.
Ketujuh, merenungkan mimpi yang dikemukakan kepadanya. Jika mimpi itu baik, maka takwilkanlah dan sampaikanlah kabar gembira kepada pelakunya sebelum mimpi itu ditakwilkan.
Jika mimpi itu buruk, maka janganlah menakwillkannya atau takwilkanlah bagian mimpi yang
takwilnya paling baik. Jika sebagian mimpi itu merupakan kebaikan dan sebagian lagi keburukan, maka bandingkanlah keduanya, lalu ambillah mimpi yang paling tepat dan paling kuat pokoknya. Jika pentakwil mengalami kesulitan, bertanyalah kepada pelaku mimpi ihwal namanya, lalu takwilkannya berdasarkan namanya itu.
Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim meriwayatkan kepada kami dari Ali bin Muhammad al-Waraq, dari Ahmad bin Muhammad bin Nashr, dari Yusuf bin Bilal, dari Muhammad bin Marwan al-Kalbi, dari Abu Shalih, dari Ibnu Abbas bahwa Aisyah berkata, “Rasulullah terkena sihir. Maka, beliau jatuh sakit, sehingga kami mengkhawatirkannya. Ketika beliau berada antara tidur dan terjaga, tiba-tiba turun dua malaikat: yang satu berada di dekat kepala Rasulullah dan yang lain berada di dekat kaki beliau. Malaikat yang berada dekat kepala berkata kepada malaikat yang berada dekat kaki, ‘Mengapa dia sakit?’ Malaikat bertanya demikian supaya Nabi saw. memahami persoalannya.
Temannya menjawab, ‘Terkena sihir.’
‘Siapa yang melakukannya?’
‘Lubaid bin A’sham, orang Yahudi.’
‘Di mana dia melakukannya?’
‘Di sumur Dzarwan.’
‘Bagaimana mengobatinya?’
‘Kirimlah orang ke perigi itu dan keringkan airnya. Jika tampak sebuah batu besar, singkirkanlah karena di bawahnya terdapat tali busur yang berpintal sebelas dan diletakkan di dalam uncang. Setelah itu bakarlah ia. Insya Allah dia sembuh. Jika dia menyuruh orang, hendaknya dia mengeluarkan uncang itu.’”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Nabi pun bangun dan beliau telah memahami apa yang dikatakan
kepadanya oleh malaikat. Beliau menyuruh ‘Ammar bin Yasir dan sekelompok sahabatnya ke perigi tersebut yang airnya telah berubah seperti inai. Kemudian perigi itu dikeringkan. Setelah tampak batu besar, ia pun digulingkan, dan tampaklah di bawahnya uncang yang berisikan tali busur bersimpul sebelas.
Kemudian mereka membawanya kepada Rasulullah. Maka, turunlah surah al-Falaq dan surah
an-Naas. Kedua surah ini berjumlah 11 ayat dan sama dengan banyaknya buhul yang berjumlah 11 pula. Setiap kali beliau membaca satu ayat, lepaslah satu buhul. Setelah seluruh buhulnya terbuka, Rasulullah dapat bangkit dan seolah-olah terlepas dari ikatan. Buhul itu pun dibakar.
Nabi menyuruh kita berlindung kepada Allah melalui kedua surah tersebut. Lubaid mengunjungi Rasulullah. Meskipun beliau menceritakan kejadian di atas, pada wajah Lubaid tidak tampak perubahan apa pun.”
Hadits di atas menunjukkan kebenaran masalah mimpi dan keberadaannya di dalam banyak
hadits, sehingga terlampau panjang untuk menceritakannya.
Untuk Download Buku Tafsir Mimpi Menurut AlQuran & Sunnah Tekan Sini
No comments:
Post a Comment